Pola Gerakan Perempuan

Gambar : katailmu.com
    Perempuan, sepertinya berbicara tentang perempuan tidak akan ada habisnya. Apalagi di Indonesia sendiri, jumlah perempuan semakin banyak. Tapi, menurut sensus tahun 2012 jumlah penduduk Indonesia. Ternyata jumlah perempuan masih di bawah laki-laki 237.641.326 jiwa. Perempuan berjumlah 118.010.413 jiwa dan laki-laki berjumlah 119.630.913 jiwa. Dengan jumlah perempuan yang semakin banyak, apakah perempuan sudah beres? 

Teringat dengan mahakarya Pramoediya Ananta Toer yang berjudul ”Boemi Manusia”. Meskipun fiktif, Pramoediya dengan apik menuturkan kisah seorang perempuan Indonesia dalam profil perempuan pribumi bernama Sanikem. Tokoh ini adalah simbol perempuan yang mengalami marjinalisasi dalam bentuk tidak dipunyainya hak bicara untuk menentukan nasibnya sendiri.
Ayah Sanikem, Sastrotomo, adalah juru tulis desa yang bercita-cita menjadi seorang juru bayar pabrik gula (jabatan terhormat bagi pribumi desa saat itu). Untuk meraih cita-cita tersebut, Sastrotomo tidak segan melakukan cara tercela, salah satunya dengan ”menjual” Sanikem kepada administratur pabrik gula yang Belanda itu.

Sanikem kemudian menjadi istri tidak sah dan tidak berdaya di bawah laki-laki Belanda, dan dikenal sebagai Nyai Ontosoroh.Dari kisah cerita Pramoediya tersebut, kita tentunya tidak berharap terjadi pada perempuan saat ini. Biarlah kisah perlakuan buruk terhadap perempuan sebagaimana cerita tersebut itu menjadi cerita kelam bagi perempuan pada masa lalu.
Perempuan Indonesia ke depan saatnya harus menunjukkan kemampuannya, terutama dalam memperjuangkan hak bicara untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai perjuangan atas hak dasar manusia, termasuk dalam hak politiknya.

Sepertinya perjuangan perempuan itu belum beres. Jika adanya jumlah perempuan di MPR itu meningkat sebanyak 50% dan itu dapat diartikan sebagai tolak ukur untuk kebangkitan perempuan, tapi sepertinya tidak. 

Hingga sampai hari ini perjuangan perempuan masih sama. Terbukti perempuan masih melawan penindasan, kekerasan terhadap perempuan, dan lain sebagainya.  Dan itu tandanya gerakan perempuan tidak ada kemajuan. 

Saya masih ingat tentang kisah Megawati. Kasus yang pertama, saat Megawati resmi menjadi pesiden, banyak orang yang menentang kepemimpinannya. Apalagi sampai ada fatwa bahwa perempuan tidak boleh dan tidak bisa untuk menjadi presiden. Kasus kedua, Megawati didukung habis-habisan untuk menjadi presiden dan wakilnya itu laki-laki. 

Adanya fatwa tersebut ingin mengembalikan perempuan pada ruang domestik dan tidak memperbolehkan wanita berada di ruang publik. Pengembalian perempuan pada ruang domestik ini artinya, mematikan potensi-potensi perempuan. Saat ini saja, potensi perempuan Indonesia sangat banyak. Bahkan keahlian yang dimiliki laki-laki, saat ini bisa dimiliki oleh perempuan.

Selain daripada itu, ternyata penggunaan hadist yang dipakai publik itu memiliki kepentingan-kepentingan bagaimana si pengguna hadist tersebut.  Ini artinya agama ditunggangi kepentingan pribadi.  Agama tidak lagi bisa murni. Hal ini bisa dipandang sebagai tindakan politik. Secara falsafah, politik harusnya memiliki peran untuk mensejahterakan semua umat. Bukan untuk melegitimasi salah satu pihak. 

Berbicara fatwa, ini artinya berbicara agama. Terutama bangsa Indonesia sendiri, masih sangat memegang teguh agama. Sementara, menurut Jalalludin Rahmat agama itu kenyataan terdekat dan misteri terjauh dari manusia dan kontruksi pemikiran bangsa Indonesia sendiri lebih di konstruk oleh doktrin agama. Dimana doktrin agama ini diyakini jika melanggarnya mendapat neraka dan jika mematuhinya mendapat surga. 

Padahal surga dan neraka tidak dapat diprediksi oleh manusia. Serta kedua hal tersebut adalah hak perogatif Tuhan. Tidak bisa diganggu gugat dan tidak bayang-bayangi manusia. Hal ini mengakibatkan manusia tidak lagi mengkritisi dalil-dalil atau dokrtin agama yang beredar. Jika seperti ini, sifat agama dari menjadi kaku. Padahal agama adalah hal yang dinamis. Mengatur kehidupan dalam berbagai zaman. 

Adanya doktrin agama ini semakin melegitimasi perempuan di bawah kaum laki-laki. Sementara, laki-laki memiliki hak yang sangat bebas daripada hak perempuan. Dan kenapa agama sebagai tameng dari pembenaran laki-laki terhadap pemindasan perempuan? 

Hal, ini berpengaruh yang pada akhirnya gerakan perempuan hanya itu-itu saja. Tidak bisa melangkah terlalu jauh. Agama itu seperti benteng yang sangat tinggi dan sulit untuk memanjatnya. Ketika perempuan harus mengkritisi teks agama, maka cap kepada perempuan adalah perempuan yang tidak tahu aturan. Lupa pada kewajibannya. 

Selain dari pada itu juga perempuan sering kali dihadang mitos ”ibu meninggal karena melahirkan akan masuk surga”; oleh suami yang menentukan apa yang boleh dilakukan terhadap istri yang kehamilannya bermasalah dan bisa berakibat fatal; dan oleh petugas kesehatan yang tidak berperspektif gender.

Berawal dari penindasan-penindasan ini, maka hadirnya gender.  Gender  didefinisikan bagai    perbedaan-perbedaan sifat, peranan, fungsi dan status antara laki-laki dan perempuan bukan berdasarkan pada perbedaan biologis, tetapi berdasarkan relasi sosial budaya yang dipengaruhi   oleh struktur masyarakat  yang lebih luas. Sehingga pada akhirnya ada kesetaraan gender. Dimana perempuan dan laki-laki itu memiliki hak dan kawajiban. Yang membedakan hanyalah secara kodratinya.

Sementara laki-laki memiliki gengsi yang cukup tinggi. Sehingga pada dasarnya, sukses ataunya tidaknya perempuan terutama untuk menjadi pemimpin bukan karena kemampuan perempuan yang separo dari laki-laki. Tetapi, tergantung penerimaan mayoritas laki-laki itu sendiri.  


Penulis : Nurdiani Latifah

0 Response to "Pola Gerakan Perempuan"

Post a Comment

PERHATIAN !
Terimakasih anda tidak berkomentar yang berunsur :

1. Sara/p**no
2. Pelecehan atau peninstaan terhadap ras dan agama
3. Link rusak
4. Spam

Bila ingin copy artikel mohon cantumkan link yang menghubungkan ke blog saya.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

loading...