Sanghyang Heuleut Objek Wisata Alam di Kabupaten Bandung Barat yang bikin betah
24 November 2018
1 Comment
Sanghyang Heuleut “Belitongnya” Bandung BaratCuaca cerah pagi itu mengiringi langkah kami menuju salah satu lokasi wisata yang belum populer di kawasan Waduk Saguling, milik PT.Indonesia Power. Tepat pukul 07.00 WIB, kami bertiga tiba di pusat perkantoran PT. Indonesia Power di Desa Rajamandala Kulon Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat (KBB). Namun obyek wisata yang ingin kami tuju sebenarnya masih jauh dari tempat itu. Sekitar tiga atau empat jam jika ditempuh dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak.Perjalanan kami kali ini, sejujurnya ingin membuktikan bahwa ada salah satu obyek wisata di kawasan Waduk Saguling, panorama alamnya mirip di Pantai Belitong Bangka.
Seperti diketahui sejak novel Andrea Hirata yang berjudul Laskar Pelangi, diangkat dalam sebuah film dengan mengambil lokasi di sekitar pantai Belitong, obyek tersebut kian dikenal masyarakat.Keindahan pantai di film tersebut cukup mempesonakan mata sehingga para turis domestic dan asing penasaran ingin membuktikan keindahan pantai secara langsung. Sementara bagi kami terlalu jauh untuk pergi kesana. Ya, pagi itu kami hanya ingin membuktikan kabar dari orang-orang bahwa di kawasan Waduk Saguling ada obyek wisata mirip pantai Belitong. Obyek Wisata itu kemudian dikenal dengan Sanghyang Heuleut.
Perjalanan menuju Sanghyang Heuleut ternyata tidaklah gampang. Kami harus turun naik menempuh perjalanan yang cukup melelahkan. Daerah yang kami lewati hanyalah perkebunan, tidak jarang semak belukar harus kami lewati. Sesekali kami berhenti sambil menghirup udara pagi yang segar. Tidak ada polusi, tidak ada suara meraung-raung kendaraan. Hanya cicit burung dan kesenyapan yang mengiring langkah kami.Setelah sekitar tiga jam lebih kami berjalan, tibalah pada sebuah tempat yang selama ini kami dibikin penasaran. Benar saja kata orang –orang tentang keindahan Sanghyang Heuleut ini. Kami temukan sebuah sungai, mirip danau kecil dengan airnya yang jernih. Air sungai itu berwarna kehijau-hijauan sebagai efek dari lumut yang tumbuh di dalam sungai tersebut.Sekeliling sungai itu berdiri kokoh bebatuan berujung lancip dan menjulur ke mulut sungai. Warna bebatuan itu keputih-putihan cukup kontras dengan warna air sungai. Seketika anganpun melayang membayangkan panorama Pantai Belitong yang pernah kami saksikan di film Laskar Pelangi.
Sanghyang Heuleut, Tempat Mandi Para BidadariPenasaran dengan nama Sanghiyang Heuleut, kami menghampiri seseorang yang berada di sekitar situ. Kebetulan Atep Risto, demikian nama orang itu mengaku sebagai warga sekitar, sehingga bisa dimintai keterangan tentang asal mula Sanghyang Heuleut.Menurut Atep Risto, tempat tersebut sudah ada sejak lama. Namun mulai dikenal setelah diangkat ke media social. Sejak dia kecil, tempat itu sudah sering dijadikan tempat berenang anak-anak sekitar."Memang nggak ada yang ngurus. Dulu, kalau mau ke sana, orang-orang sering ditakut-takutin biar nggak datang ke sana," ucapnya.Ia menjelaskan, nama dari Sanghyang Heuleut berasal dari Bahasa Sunda. Sanghiyang artinya tempat yang suci. Heuleut artinya sela diantara dua waktu. Konon, Sanghyang Heuleut itu menurut keperccayaan warga setempat, sebagai mandinya para bidadari. “Warga di sini mempercayai kalau tempat ini, sebagai tempat turunnya Dayang Sumbi mengambil air minum, mandi dan mencuci,” terangnya.Mitos itulah yang kemudian mempengaruhi warga sekitar, enggan ke tempat tersebut. Terlebih untuk mencapai lokasi tersebut, akses jalannya cukup sulit. Harus melewati sungai dengan bebatuan yang besar dan hutan yang lebat. "Jadinya banyak warga yang enggan ke sana," imbuhnya.Ia juga menceritakan, jika Sanghyang Heuleut merupakan satu rangkaian cerita dengan Sanghyang Poek dan Sanghyang Tikoro. Air dari Sanghyang Heuleut berasal dari Bendungan Saguling yang dimanfaatkan oleh PT. Indonesia Power sebagai sumber listrik untuk Jawa dan Bali.Sebelum ke lokasi tersebut, terlebih dahulu kita melewati Sanghyang Poek dan Sanghyang Tikoro.
Sanghyang Heuleut berada sekitar 5 kilometer dari gapura utama PLTA Saguling. Sebenarnya sambung Atep, warga asli Saguling sendiri ketakutan, setelah obyek wisata itu dikenal public, keasriannya tidak terjaga. Karena hingga kini, belum ada pihak-pihak yang serius mengelolanya.Menurutnya, jika tempat itu dibuka untuk umum, maka konsekwensinya harus dikelola dengan baik. Karena jika tidak, obyek wisata tersebut bisa rusak akibat ulah para pengunjung yang tidak bertanggungjawab. "Saya kira kalau dikelola dengan baik, obyek wisata ini juga bisa menghasilkan,” ujarnya.Iapun wanti-wanti kepada para pengunjung untuk dapat menjaga lingkungan Sanghyang Heuleut. "Harus bisa menjaga alam sekitar. Terutama kepada pengunjung yang datang. Jangan seenaknya membuang sampah," tandasnya.
Artikel ini kiriman Nurdiani Latifah
Seperti diketahui sejak novel Andrea Hirata yang berjudul Laskar Pelangi, diangkat dalam sebuah film dengan mengambil lokasi di sekitar pantai Belitong, obyek tersebut kian dikenal masyarakat.Keindahan pantai di film tersebut cukup mempesonakan mata sehingga para turis domestic dan asing penasaran ingin membuktikan keindahan pantai secara langsung. Sementara bagi kami terlalu jauh untuk pergi kesana. Ya, pagi itu kami hanya ingin membuktikan kabar dari orang-orang bahwa di kawasan Waduk Saguling ada obyek wisata mirip pantai Belitong. Obyek Wisata itu kemudian dikenal dengan Sanghyang Heuleut.
Perjalanan menuju Sanghyang Heuleut ternyata tidaklah gampang. Kami harus turun naik menempuh perjalanan yang cukup melelahkan. Daerah yang kami lewati hanyalah perkebunan, tidak jarang semak belukar harus kami lewati. Sesekali kami berhenti sambil menghirup udara pagi yang segar. Tidak ada polusi, tidak ada suara meraung-raung kendaraan. Hanya cicit burung dan kesenyapan yang mengiring langkah kami.Setelah sekitar tiga jam lebih kami berjalan, tibalah pada sebuah tempat yang selama ini kami dibikin penasaran. Benar saja kata orang –orang tentang keindahan Sanghyang Heuleut ini. Kami temukan sebuah sungai, mirip danau kecil dengan airnya yang jernih. Air sungai itu berwarna kehijau-hijauan sebagai efek dari lumut yang tumbuh di dalam sungai tersebut.Sekeliling sungai itu berdiri kokoh bebatuan berujung lancip dan menjulur ke mulut sungai. Warna bebatuan itu keputih-putihan cukup kontras dengan warna air sungai. Seketika anganpun melayang membayangkan panorama Pantai Belitong yang pernah kami saksikan di film Laskar Pelangi.
Sanghyang Heuleut, Tempat Mandi Para BidadariPenasaran dengan nama Sanghiyang Heuleut, kami menghampiri seseorang yang berada di sekitar situ. Kebetulan Atep Risto, demikian nama orang itu mengaku sebagai warga sekitar, sehingga bisa dimintai keterangan tentang asal mula Sanghyang Heuleut.Menurut Atep Risto, tempat tersebut sudah ada sejak lama. Namun mulai dikenal setelah diangkat ke media social. Sejak dia kecil, tempat itu sudah sering dijadikan tempat berenang anak-anak sekitar."Memang nggak ada yang ngurus. Dulu, kalau mau ke sana, orang-orang sering ditakut-takutin biar nggak datang ke sana," ucapnya.Ia menjelaskan, nama dari Sanghyang Heuleut berasal dari Bahasa Sunda. Sanghiyang artinya tempat yang suci. Heuleut artinya sela diantara dua waktu. Konon, Sanghyang Heuleut itu menurut keperccayaan warga setempat, sebagai mandinya para bidadari. “Warga di sini mempercayai kalau tempat ini, sebagai tempat turunnya Dayang Sumbi mengambil air minum, mandi dan mencuci,” terangnya.Mitos itulah yang kemudian mempengaruhi warga sekitar, enggan ke tempat tersebut. Terlebih untuk mencapai lokasi tersebut, akses jalannya cukup sulit. Harus melewati sungai dengan bebatuan yang besar dan hutan yang lebat. "Jadinya banyak warga yang enggan ke sana," imbuhnya.Ia juga menceritakan, jika Sanghyang Heuleut merupakan satu rangkaian cerita dengan Sanghyang Poek dan Sanghyang Tikoro. Air dari Sanghyang Heuleut berasal dari Bendungan Saguling yang dimanfaatkan oleh PT. Indonesia Power sebagai sumber listrik untuk Jawa dan Bali.Sebelum ke lokasi tersebut, terlebih dahulu kita melewati Sanghyang Poek dan Sanghyang Tikoro.
Sanghyang Heuleut berada sekitar 5 kilometer dari gapura utama PLTA Saguling. Sebenarnya sambung Atep, warga asli Saguling sendiri ketakutan, setelah obyek wisata itu dikenal public, keasriannya tidak terjaga. Karena hingga kini, belum ada pihak-pihak yang serius mengelolanya.Menurutnya, jika tempat itu dibuka untuk umum, maka konsekwensinya harus dikelola dengan baik. Karena jika tidak, obyek wisata tersebut bisa rusak akibat ulah para pengunjung yang tidak bertanggungjawab. "Saya kira kalau dikelola dengan baik, obyek wisata ini juga bisa menghasilkan,” ujarnya.Iapun wanti-wanti kepada para pengunjung untuk dapat menjaga lingkungan Sanghyang Heuleut. "Harus bisa menjaga alam sekitar. Terutama kepada pengunjung yang datang. Jangan seenaknya membuang sampah," tandasnya.
Artikel ini kiriman Nurdiani Latifah
Dah lama di Bandung tapi belum pernH kesini..hmm
ReplyDelete